Tradisi Nyadar

Tradisi Nyadhar adalah salah satu Adat Madura yang sering diperingati tiap tahunnya. Tradisi ini byasanya dilakukan 3 kali dalam setahun. Nyadhar pertama dan kedua dilaksanakan di Desa Kebundadap Barat sedangkan nyadhar ketiga dilaksanakan di Desa Pinggir Papas. Tradisi yang memiliki unsur magis dan unik ini sangat menyedot perhatian masyarakat setempat. Tradisi Nyadhar ini dilaksanakan di kawasan komplek makam leluhur, disebut juga asta yang oleh masyarakat sertempat dikenal sebagai Bujuk Gubang. 

Lokasi tersebut berada di Dusun Kolla, Desa Kebundadap Barat, Kecamatan Saronggi yang masih masuk Kabupaten Sumenep. Dari kota Sumenep sendiri untuk menuju lokasi masih harus menempuh jarak sekitar 13 kilometer lagi ke arah Selatan. Bila membawa kendaraan pribadi akan lebih baik, namun bila terpaksa harus menggunakan kendaraan umum, di sana pun tersedia. Tidak perlu khawatir kesasar, karena lokasinya sangat terkenal, bertanya kepada penduduk setempat pasti tahu tempatnya.
Nyadhar sendiri berasal dari kata nadhar, yang artinya niat berziarah ke Bujuk Gubang. Dilaksanakan tepat hari Jum'at tgl 15 bln Rajab. Tradisi ini merupakan tradisi masyarakat petani garam Desa Pinggir Papas dan masyarakat Kebundadap Barat. Nyadhar memiliki ritual - ritual yang berbau Agama Hindu dan Agama Islam.
Alkisah ada seorang yang bernama Anggasuto, pada suatu malam melakukan Istigharah. Memohon kepada Tuhan yang maha Esa, jika dia memang ditakdirkan hidup di daerah tersebut. Apa yang bisa dijadikannya sebagai sumber hidup atau mata pencaharian baginya. Sebab di daerah tersebut adalah daerah pesisir pantai. Yang bisa dibayangkan bagaimana kondisinya.
Konon, Tuhan mengabulkan dan memberinya petunjuk. Anggasuto semacam diminta untuk berjalan menuju pesisir pantai. Pada suatu waktu, Anggasuto berjalan ke arah pantai. Karena tanah di pantai itu begitu lembek, hingga membentuk tapak kakinya. Selang waktu berjalan, bekas tapak kaki tersebut terisi oleh air laut.
Beberapa hari kemudian, Anggasuto kembali berjalan ke arah pantai. Dia memperhatikan sesuatu di bekas tapak kakinya itu. Dijumpainya bekas tapak kaki itu dipenuhi oleh benda yang berwarna putih. Anggasuto sempat bertanya-tanya dalam hati. Apa gerangan benda putih tersebut? Adakah benda putih itu adalah madduna sagara atau bisa disebut madunya samudra.

Akhir kata, benda itu kemudian oleh Anggasuto disebut dengan Buja, yang merupakan istilah bahasa Madura untuk garam. Maka, hingga sekarang benda itu dikenal dengan nama buja atau garam. Kabarnya kisah itu sudah tersiar ke segala penjuru daerah. ”Ini berarti garam merupakan temuan Anggasuto,” tegas Satija lagi.
Seiring perputaran jaman, temuannya itu ternyata memberi manfaat bagi seluruh manusia di penjuru Nusantara. Dimana pola mata pencaharian sebagai petani garam kemudian juga dilakukan oleh beberapa masyarakat di daerah lain seperti di Bali dan Sumatera.
Dan waktu terus berjalan, orang-orang di daerah Pinggirpapas masa itu, dengan bimbingan Anggasuto terus mempelajari bagaimana memetak tanah untuk ladang garam. Selain itu juga cara memindah-mindah air laut.
Dari air kesatu hingga air kedua puluh lima yang baru menjadi garam. Yang dimaksud disini adalah kadar air. Kemudian daerah tersebut disebut dengan padaran atau sekarang dikenal dengan talangan. Maka jadilah daerah tersebut dengan hamparan ladang garam, dan mayoritas masyarakatnya mempunyai mata pencaharian sebagai petani garam.
Konon setelah garam-garam itu menunjukkan hasil, Anggasuto sebagai manusia yang senantiasa tidak lupa pada sang pemberi rejeki. Suatu ketika dia pun bernadar, setiap jatuh pada bulan dan tanggal panas matahari (masuk musim kemarau) akan melakukanNyadar, semacam bakti syukur atas anugerah yang diberikan Tuhan. Maka jadilah dilakukan upacara Nyadar pertama. 

Pada saat upacara nyadhar biasanya banyak orang yang datang untuk nyekkar dan berziarah pada makam leluhur. Setelah selesai nyekkar mereka mencolek bedak kuning dan ditaruh di dahi atau kuping. Pada malam harinya memasak nasi yang oleh masyarakat setempat disebut Rasol. Nasi itu dibungkus bambu panjang  setelah itu dikumpulkan di Bujuk Gubang yang ditaruh pada Panjeng (piring kuno yang berukuran besar) Trus dihitung oleh Kyai menggunakan baju Racok Saebu dengan mengitari arena itu.. Seterusnya dimakan dengan satu atau dua suapan saja. Setelah selesai makan dibawa ke Desa Pinggir Papas menggunakan perahu. Perahu itu saling adu cepat untuk nyampek di Desa tersebut. Ritual itu disebut Kaom.
Selain ritual-ritualnya yang unik ada juga kebiasaan unik disana.Yaitu masyarakat disana berjualan sepanjang jalan menuju Bujuk tsb. seperti layakya pasar malam. Dan masyarakat setempat menyediakan macam-macam makanan, seperti nangginang, gettas, kaleppon dll. Remaja disana pun ikut meramaikan pada malam harinya.
Itulah sedikit uraian tentang Tradisi Nyadhar yang saya ketahui, apabila ada kesalahan mohon dimaafkan dan jangan lupa tinggalkan komentar. Thanks